SUMBER-SUMBER
INFLASI DI INDONESIA
Apabila ditelaah lebih
lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya inflasi
di Indonesia, yaitu:
1.
Jumlah uang
beredar
Menurut sudut pandang
kaum moneteris jumlah uang beredar adalah factor utama penyebab timbulnya
inflasi di Indonesia. Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang beredar
(48,7%) lebih kecil dari pada presentase jumlah uang giral yang beredar
(51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di
sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses
pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi
dalam kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan
kecenderungan meningkatnya laju inflasi.
Menurut data yang
dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju pertumbuhan rata-rata jumlah
uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980-1992 relatif tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan, tingkat inflasi Indonesia
juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (kecuali
Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia pada tahun 1970-an sampai
awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh pertumbuhan kredit likuiditas dan
defisit anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini dapat merupakan efek
langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sector keuangan (terutama
dalam hal penurunan reserve requirement).
2. Defisit Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti halnya yang
umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah Indonesia pun
sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip anggaran
berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali disebabkan oleh hal-hal
yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia, yang acapkali
menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk membangun.
Selama pemerintahan
Orde Lama defisit anggaran belanja dibiayai dari dalam negeri dengan pencetakan
uang baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang inward
looking policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang hebat. Tetapi
sejak era Orde Baru, deficit anggaran belanja ini ditutup dengan pinjaman luar
negeri yang relatif aman terhadap inflasi.
Dalam era pemerintahan
Orde Baru, kebutuhan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi sejak Pembangunan
Jangka Panjang I, menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan sangat
besar. Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana pembangunan dari
masyarakat (baik dari sektor tabungan masyarakat maupun pendapatan pajak) di
dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum berkembang), juga
kemampuan sector swasta yang terbatas dalam melakukan pembangunan, menyebabkan
pemerintah harus berperan sebagai motor pembangunan. Hal ini menyebabkan
pengeluaran APBN menjadi lebih besar daripada penerimaan rutin. Artinya, peran
pengeluaran pemerintah dalam investasi tidak dapat diimbangi dengan penerimaan,
sehingga menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan negara, atau
dapat dikatakan telah terjadi defisit struktural dalam keuangan negara. Pada
saat terjadinya oil booming, era tahun 1970-an, pendapatan pemerintah di
sektor migas meningkat pesat, sehingga jumlah uang primer pun semakin
meningkat. Hal ini menyebabkan kemampuan pemerintah untuk berekspansi investasi
di dalam negeri semakin meningkat. Dengan kondisi tingkat pertumbuhan produksi
domestik yang relatif lebih lambat, akibat kapasitas produksi nasional yang
masih berada dalam keadaan under-employment, peningkatan permintaan
(investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari masyarakat
ke pemerintah, seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang inflasi.
Hal inilah yang menyebabkan timbulnya
tekanan inflasi.
Tetapi, sejak
berubahnya orientasi ekspor Indonesia ke komoditi non migas, sejalan dengan
merosotnya harga minyak bumi di pasar ekspor (sejak tahun 1982), menyebabkan
kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional semakin berkurang
pula, sehingga pemerintah tidak dapat lagi mempertahankan posisinya sebagai
penggerak (motor) pembangunan. Dengan kondisi seperti ini, menyebabkan secara
bertahap peran sebagai penggerak utama pembangunan nasional beralih ke pihak
swasta nasional, dengan demikian sumber tekanan inflasi pun beralih dari
pemerintah beralih ke non pemerintah (swasta).
Tekanan inflasi pada
periode ini lebih disebabkan oleh meningkatnya tingkat agresifitas sektor
swasta dalam melakukan ekspansi usaha, yang didukung oleh perkembangan sektor
perbankan yang semakin ekspansif pula. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik
yang masih saja relatif terbatas, maka pinjaman luar negeri yang sifatnya non
komersial maupun komersial pun semakin meningkat. Akibatnya, tetap saja terjadi
defisit anggaran belanja negara dan neraca pembayaran, salah satu sebabnya
karena pemerintah tetap saja harus menyediakan infrastruktur dan suprastruktur
pembangunan ekonomi yang kebutuhannya semakin meningkat. Peran pemerintah ini
dapat dimaklumi karena kemampuan swasta nasional dalam pembangunan
infrastruktur ekonomi masih sangat
terbatas.
3. Faktor-faktor dalam Penawaran Agregat dan Luar
Negeri
Kelambanan penyesuaian
dari faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat
ini lebih banyak disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan struktural (structural
bottleneck) yang ada di Indonesia. Harga bahan pangan merupakan salah satu
penyumbang terbesar terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Hal ini antara lain
disebabkan oleh ketegaran structural yang terjadi di sektor pertanian sehingga
menyebabkan inelastisnya penawaran bahan pangan. Ketergantungan perekonomian
Indonesia yang besar terhadap sector pertanian, yang tercermin oleh peranan
nilai tambahnya yang relatif besar dan daya serap tenaga kerjanya yang
sedemikian tinggi serta beban penduduk yang cukup tinggi, mengakibatkan harga
bahan pangan meningkat pesat. Umumnya, laju penawaran bahan pangan tidak dapat
mengimbangi laju permintaannya, sehingga sering terjadi excess demand yang
selanjutnya dapat memunculkan inflationary gap.
Timbulnya excess
demand ini disebabkan oleh percepatan pertambahan penduduk yang membutuhkan
bahan pangan tidak dapat diimbangi dengan pertambahan output pertanian,
khususnya pangan. Di sisi lain, kelambanan produksi bahan pangan disebabkan
oleh berbagai hal, diantaranya adalah tingkat modernisasi teknologi dan metode
pertanian yang kurang maksimal; adanya faktor-faktor eksternal dalam pertanian
seperti, perubahan iklim dan bencana alam; perpindahan tenaga kerja pertanian
ke sektor non pertanian akibat industrialisasi; juga semakin sempitnya luas
lahan yang digunakan untuk pertanian, yang disebabkan semakin banyaknya lahan
pertanian yang beralih fungsi sebagai lokasi perumahan; industri; dan
pengembangan kota.
Menurut hasil study
empiris yang dilakukan oleh Sri Mulyani Indrawati (1996), adalah: Pertama, imported
inflation ini terjadi akibat tingginya derajat ketergantungan sektor riil di
Indonesia terhadap barang-barang impor, baik capital goods; intermediated
good; maupun row material. Transmisi imported inflation di
Indonesia ini terjadi melalui dua hal, yaitu depresiasi rupiah terhadap mata
uang asing dan perubahan harga barang impor di negara asalnya. Bila suatu
ketika terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap mata uang asing,
maka akan menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang harus ditanggung oleh
produsen, baik itu untuk pembayaran bahan baku dan barang perantara ataupun
beban hutang luar negeri akibat ekspansi usaha yang telah dilakukan. Hal ini
menyebabkan harga jual output di dalam negeri (khususnya untuk industri
subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga potensial meningkatkan derajat
inflasi di dalam negeri. Tetapi, untuk industri yang bersifat promosi ekspor,
depresiasi tersebut tidak akan membawa
dampak buruk yang signifikan.
Berkaitan dengan posisi
hutang luar negeri Indonesia, pada periode tahun 1990- an, telah membengkak
dengan tingkat debt service ratio yang semakin tinggi, yaitu lebih dari
40 %, dan presentase tingkat hutang yang bersifat komersial telah melampaui
hutang non komersial. Menyebabkan, timbulnya hal yang sangat membahayakan
ketahanan ekonomi nasional, terutama pada sektor finansial, apabila terjadi
fluktuasi (memburuknya) nilai tukar (kurs), disamping dapat mengakibatkan
tekanan inflasi yang berat, khususnya imported inflation.
Kedua, administrated
goods adalah barang-barang yang harganya diatur dan ditetapkan oleh
pemerintah. Meskipun pengaruhnya secara langsung sangat kecil dalam
mempengaruhi tingkat inflasi, tetapi secara situasional dan tidak langsung
pengaruhnya dapat menjadi signifikan. Contoh, apabila terjadi kenaikan BBM,
maka bukan saja harga BBM yang naik, harga barang atau tarif jasa yang terkait
dengan BBM juga akan ikut dinaikan oleh masyarakat. Akibatnya, dapat
memperberat tekanan inflasi.
Ketiga, output gap adalah
perbedaan antara actual output (output yang diproduksi) dengan potential
output (output yang seharusnya dapat diproduksi dalam keadaan full
employment). Adanya kesenjangan (gap) ini terjadi karena
faktor-faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi belum maksimal dan
atau efisien.
Keempat, interest
rate juga merupakan faktor penting yang menyumbang angka inflasi di
Indonesia. Memang pada awalnya merupakan hal yang cukup membingungkan dalam
menentukan manakah yang menjadi independent variable atau dependent, antara
inflasi dan suku bunga. Tetapi, bila ditilik dari sisi biaya produksi dan
investasi (sisi penawaran), maka jelaslah bahwa suku bunga dapat dikatagorikan
dalam komponen biaya-biaya tersebut. Dengan relatif tingginya tingkat suku
bunga perbankan di Indonesia, menyebabkan biaya produksi dan investasi di
Indonesia, yang dibiayai melalui kredit perbankan, akan tinggi juga. Jadi,
apabila tingkat suku bunga meningkat, maka biaya produksi akan meningkat,
selanjutnya akan meningkatkan pula harga output di pasar, akibatnya terjadi
tekanan inflasi. Akhirnya, relasi antara tingkat suku bunga dan inflasi ini
bisa menjadi interest rate-price spiral.