Strukturalisme
adalah perspektif ‘bottom up’ ilmu hubungan internasional yang
dipengaruhi Marxisme. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, ‘sifat
dasar manusia’ tidak tetap maupun esensial, namun terkondisikan melalui masyarakat.
Kedua, subjek dapat dikelompokkan menjadi kolektivitas yang dapat
diidentifikasi dan dapat pula dikatakan memiliki kepentingan konkrit. Ketiga,
‘strukturalisme adalah sains’. Keempat, tidak ada perbedaan jelas antara
nasional (dalam negeri) dan internasional (luar negeri). Strukturalisme
memandang bahwa tata dunia kontemporer dikonstruksi oleh sistem kapitalis
global dan sistem antarnegara yang berhubungan. Ciri fundamental tata dunia ini
adalah ketidaksamaan yang didasarkan eksploitasi kapitalisme. Strukturalisme
memandang kelas sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional, namun tidak
melupakan peran negara sebagai perpanjangan kepentingan kelas. Aktor-aktor
institusional dipandang berperan membantu melegitimasi dan memelihara struktur
yang ada. Berbagai varian strukturalisme adalah teori dependensia dan teori world-systems.
Assessment: The Clash of
Perspectives
Sebagaimana epistemologi ilmu Barat
yang menganut pendekatan dikotomis, ilmu hubungan internasional, terutama American
school, selalu terstruktur atas debat antara dua perspektif utama yang
paling signifikan pada masanya. Pascaperang Dunia II hingga 1980-an, debat
tersebut berkisar antara realisme dan liberalisme, dua perspektif yang
mengaplikasikan teori rational choice namun mencapai kesimpulan yang
secara radikal berbeda tentang hubungan internasional. Pada 1980-an, terjadi
pergeseran menuju dua debat utama antara, pertama, neorealisme dengan
neoliberalisme, yang sama-sama teori rasionalis namun berbeda secara
ideasional, dan kedua, rasionalisme dengan critical theory, yang
berbeda secara holistik dari asumsiasumsi epistemologis, metodologis,
ontologis, maupun normatif. Bahkan Pascaperang Dingin, poros debat ini masih
mengalami pergeseran menuju dua debat baru antara, pertama, rasionalisme
dengan konstruktivisme dan, kedua, konstruktivisme dengan critical
theory, yang memunculkan antitesis terhadap rasionalisme dan positivism
serta kritik metateoritis. (Setelah ini pun, penulis berasumsi bahwa debat ilmu
hubungan internasional ini akan terus mengalami pergeseran, seiring aplikasi
metode inkuiri Socrates dalam bidang ilmu ini yang akan selalu menghasilkan
sintesis teori baru setelah dua perspektif yang saling antitesis saling
dibenturkan.)
Mengapa selalu terjadi debat? Karena
metode inkuiri Socrates? Karena dialektika Hegel? Karena pemahaman
postpositivis? Karena relativitas ilmu sosial yang rentan menghadirkan krisis
dan anomali, yang pada akhirnya akan selalu melahirkan paradigma baru? Karena
teori-teori ini bersifat konfliktual? Karena ada kepentingan-kepentingan yang
bersifat soft power, sehingga langkah-langkah intervensionis dalam
diskursus ilmu pun diambil (seperti “pembersihan” terhadap para guru besar
universitas)? Entahlah. Yang pasti, penulis sangat meyakini bahwa tradisi debat
dalam ilmu hubungan internasional ini akan terus berlanjut.
Karena
sifatnya yang sangat inheren dalam ilmu hubungan internasional, mengikuti perkembangan
debat ini menjadi sangat menarik. Dalam esai ini, penulis akan menitikberatkan
fokus analisis pada debat yang mengawali tradisi debat dalam ilmu hubungan
internasional: “bapak”-nya debat HI, realisme-liberalisme.