PENGERTIAN PARADIGMA
Denzin &
Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic belief system or
worldview that guides the investigator, not only in choices of method but in
ontologically and epistomologically fundamental ways.” Pengertian tersebut
mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara
memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda
tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan epistomologis.
Secara singkat, Denzin & Lincoln (1994:107) mendefinisikan “Paradigm as
Basic Belief Systems Based on Ontological, Epistomological, and Methodological
Assumptions.” Paradigma merupakan sistem keyakinan dasar berdasarkan
asumsi ontologis, epistomologis, dan metodologi. Denzin & Lincoln
(1994:107) menyatakan: “A paradigm may be viewed as a set of basic beliefs
(or metaphysics) that deals with ultimates or first principle.” Suatu
paradigma dapat dipandang sebagai seperangkat kepercayaan dasar (atau yang
berada di balik fisik yaitu metafisik) yang bersifat pokok atau prinsip utama.
Sedangkan Guba (1990:18) menyatakan suatu paradigma dapat dicirikan oleh respon
terhadap tiga pertanyaan mendasar yaitu pertanyaan ontologi, epistomologi, dan
metodologi. Selanjutnya dijelaskan:
a.
Ontological: What is the nature of the “knowable?”
or what is the nature of reality? Ontologi: Apakah hakikat dari sesuatu
yang dapat diketahui? Atau apakah hakikat dari realitas? Secara lebih
sederhana, ontologi dapat dikatakan mempertanyakan tentang hakikat suatu
realitas, atau lebih konkret lagi, ontologi mempertanyakan hakikat suatu
fenomena.
b.
Epistomological: What is the nature of the
relationship between the knower (the inquirer) and the known (or knowable)?
Epistomologi: Apakah hakikat hubungan antara yang ingin mengetahui (peneliti)
dengan apa yang dapat diketahui? Secara lebih sederhana dapat dikatakan
epistomologi mempertanyakan mengapa peneliti ingin mengetahui realitas, atau
lebih konkret lagi epistomologi mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi
atau dapat terjadi?
c.
Methodological: How should the inquirer go about
finding out knowledge? Metodologi: Bagaimana cara peneliti menemukan
pengetahuan? Secara lebih sederhana dapat dikatakan metodologi mempertanyakan
bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan, atau lebih konkret lagi
metodologi mempertanyakan cara atau metoda apa yang digunakan oleh peneliti
untuk menemukan pengetahuan?
Sedang Denzin & Lincoln (1994:108) menjelaskan
ontologi, epistomologi, dan metodologi sebagai berikut:
–
The ontological question: What is the form and
nature of reality and, therefore, what is there that can be known about it?
Pertanyaan ontologi: “Apakah bentuk dan hakikat realitas dan selanjutnya apa
yang dapat diketahui tentangnya?”
–
The epistomological question: What is the
nature of the relationship between the knower or would be-knower and what can
be known? Pertanyaan epistomologi: “Apakah hakikat hubungan antara peneliti
atau yang akan menjadi peneliti dan apa yang dapat diketahui.”
–
The methodological question: How can the
inquirer (would-be knower) go about finding out whatever he or she believes can
be known. Pertanyaan metodologi: “Bagaimana cara peneliti atau yang akan
menjadi peneliti dapat menemukan sesuatu yang diyakini dapat diketahui.”
Apabila dianalisis secara saksama dapat disimpulkan
bahwa pandangan Guba dan pandangan Denzin & Lincoln tentang ontologi,
epistomologi serta metodologi pada dasarnya tidak ada perbedaan. Dengan mengacu
pandangan Guba (1990) dan Denzin & Lincoln (1994) dapat disimpulkan paradigma
adalah sistem keyakinan dasar yang berlandaskan asumsi ontologi, epistomologi,
dan metodologi atau dengan kata lain paradigma adalah sistem keyakinan
dasar sebagai landasan untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa itu hakikat
realitas, apa hakikat hubungan antara peneliti dan realitas, dan bagaimana cara
peneliti mengetahui realitas.
Sedang Salim (2001:33), yang mengacu pandangan Guba
(1990), Denzin & Lincoln (1994) menyimpulkan paradigma merupakan
seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam
bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Atau seperangkat keyakinan
mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita baik tindakan keseharian maupun
dalam penyelidikan ilmiah. Dalam bidang ilmu pengetahuan ilmiah paradigma
didefinisikan sebagai sejumlah perangkat keyakinan dasar yang digunakan
untuk mengungkapkan hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya dan bagaimana cara
untuk mendapatkannya.
Dalam komunitas Sosiologi, definisi paradigma yang
banyak digunakan mengacu pada definisi dari George Ritzer. Menurut Ritzer dalam
buku: Sociology A Multiple Paradigm Science (1975): paradigma merupakan
gambaran fundamental tentang pokok permasalahan dalam suatu ilmu pengetahuan.
Paradigma membantu memberikan definisi
tentang apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan,
bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi
dalam menginterpretasi jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan suatu
konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan
satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain. Paradigma memasukkan,
mendefinisikan, dan menghubungkan eksemplar, teori, metode, dan instrumen yang
ada di dalamnya (Ritzer, 1975 dalam Lawang, 1998:2).
Catatan: eksemplar adalah contoh atau model penelitian yang secara
konsisten (kurang lebih) memperlihatkan hubungan antara gambaran fundamental
tentang pokok permasalahan, teori, dan metode yang digunakan (Lawang, 1999:4).
Gambar
: George Ritzer
Menurut pendapat penulis, definisi paradigma yang
dikemukakan Ritzer tersebut mengandung tiga asumsi yaitu ontologi,
epistomologi, dan metodologi. Ini dapat dilihat dari pernyataan: “paradigma
membantu memberikan definisi tentang apa
yang harus dipelajari (asumsi ontologi), pertanyaan apa yang harus dikemukakan (asumsi
epistomologi), bagaimana pertanyaan
itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam
menginterpretasikan jawaban yang diperoleh (asumsi metodologi). Dengan
demikian definisi paradigma Ritzer mengandung tiga asumsi mendasar yang sama
dengan definisi paradigma dari Guba, Denzin & Lincoln, yaitu asumsi
ontologi, epistomologi, dan metodologi.
Menurut Creswell (1994: 6), paradigma merupakan
landasan untuk mencari jawaban atas lima pertanyaan mendasar, yaitu ontologi,
epistomologi, aksiologi, retorika, dan metodologi. Aksiologi adalah
jawaban atas pertanyaan apa peranan nilai, sedang retorika adalah
jawaban atas pertanyaan apa bahasa yang digunakan dalam penelitian.
Dari semua uraian di atas dapatlah dikemukakan
bagaimana seseorang mengembangkan dan menggunakan suatu paradigma ilmu
pengetahuan dengan melihat cara pandang yang digunakan dalam menjawab lima
pertanyaan mendasar, yaitu: ontologi, epistomologi, aksiologi, retorika, dan
metodologi. Oleh karena itu, uraian selanjutnya akan dikemukakan
prinsip-prinsip implementasi, dimensi-dimensi paradigma dalam penelitian
kuantitatif dan dalam penelitian kualitatif.