Thomas
A. Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) mencoba menggambarkan
secara lebih luas dan lebih mendalam tentang faham interpretive dan
menyatakan bahwa interpretive merupakan ide yang berasal dari tradisi
intelektual Jerman, yaitu hermeneutik, tradisi Verstehen dalam
sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik kepada aliran ilmu
pengetahuan alam (scientism) dan aliran Positivis (positivism)
yang dipengaruhi oleh kritik para filosuf terhadap logika empirisme.
Hal
tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln,
1994: 119) sebagai berikut:
“Painted in broad strokes, the canvas of
interpretivism is layered with ideas stemming from the German intellectual
tradition of hermeneutics and the Verstehen tradition in sociology, the
phenomenology of Alfred Schutz and critiques of scientism and positivism of
ordinary language philosophers critical of logical emperism (e.g Peter Winch,
A. R. Lough Isaiah Berlin).”
Selanjutnya
Schwandt menjelaskan bahwa secara historis argumentasi pengikut faham interpretive
bahwa interpretive digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat
unik. Terdapat bermacam sanggahan terhadap interpretive naturalistik
(alamiah) dari ilmu pengetahuan sosial (secara kasar pandangan tentang tujuan
dan metoda ilmu pengetahuan sosial disamakan (identik) dengan tujuan dan metoda
ilmu pengetahuan alam). Kaum interpretive berpandangan bahwa ilmu
pengetahuan mental (Geisteswissenschaften)
atau ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften)
berbeda dengan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften).
Tujuan ilmu pengetahuan alam adalah menjelaskan secara ilmiah (erklaren), sedang tujuan ilmu
pengetahuan mental dan budaya adalah membentuk pemahaman (verstehen) mengenai “makna” dari fenomena sosial.
Hal
tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln,
1994: 119) sebagai berikut:
“Historically, at least, interpretivists
argued for the uniqueness of human inquiry. They crafted various refutations of
naturalistic interpretation of the social sciences (roughly the view that the
aims and methods of the social sciences are identical to those of the natural
sciences). They held that the mental sciences (Geisteswissenschaften) or
cultural sciences (Kulturwissenschaften) were different in kind than the
natural sciences (Naturwissenschaften): The goal of the latter is scientific
explanation (Erklaren), where as the goal of the former is the grasping or
understanding (Verstehen) of the “meaning” of social phenomena.”
Sebelum
menjelaskan interpretive seperti tersebut di atas Schwandt menjelaskan bahwa
istilah-istilah Konstruktivis, Konstruktivisme, Interpretivis dan
Interpretivisme merupakan istilah-istilah yang sehari-hari dipergunakan dalam
metodologi ilmu pengetahuan sosial dan oleh ahli-ahli filsafat. Arti dari
istilah-istilah tersebut dibentuk oleh maksud para penggunanya. Konstruktivisme
dan interpretivisme berfungsi memberikan alternatif penjelasan lain yang
meyakinkan secara metodologi dan filosofi yang berpasangan. Istilah-istilah
tersebut sangat tepat untuk disebut konsep yang peka. Walaupun demikian
istilah-istilah ini hanya memberikan arahan terhadap apa yang harus
diperhatikan dalam penelitian tetapi tidak memberikan penjelasan.
Hal
tersebut dapat dilihat dalam pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln,
1994: 118) sebagai berikut:
“Constructivist, constructivism, interpretivist and interpretivism are
terms that routenely appear in the lexicon of social science methodologists and
philosophers. Yet, their particular meaning are shaped by the intent of their
user. As general descriptors for a loosely coupled family of methodological and
philosophical persuasions, these terms are best regarded as sentizing concepts
(Blumer, 1954). They steer the interest reader in the general direction of
where instances of particular kind of inquiry can be found. However they
“merely suggest directions along which to look” rather than provide
descriptions of what to see.”
Dari penjelasan-penjelasan Schwandt
tersebut dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme, dan interpretivisme merupakan
dua istilah yang dipahami secara berpasangan untuk mendapatkan makna dari suatu
fenomena sosial. Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya dipergunakan
oleh ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Sedang menurut Guba dan Denzin &
Lincoln, konstruktivisme merupakan paradigma. Hal ini telah dijelaskan secara
memadai dalam Bab II. Dalam buku Paradigm Dialog karangan Guba, maupun Handbook of Qualitative
Research karangan Denzin & Lincoln interpretivisme tidak
disebut-sebut sebagai suatu paradigma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
interpretive hanyalah merupakan metode analisis yang dipergunakan oleh kaum
Konstruktivis untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena. Dan dari penjelasan
Schwandt pada alinea pertama di atas juga nyata/jelas bahwa interpretive juga
digunakan oleh hermeneutik dan fenomenologi, yang keduanya juga merupakan
metode analisis sebagai kritik terhadap aliran ilmu pengetahuan alam dan
positivisme yang menggunakan logika emperisme. Berbeda dengan ilmu pengetahuan
alam yang bertujuan memberikan penjelasan (erklaren) maka interpretive bertujuan untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen).
Untuk
menjelaskan perbedaan fenomena dengan makna dibalik fenomena (noumenon), penulis akan mengutip uraian
Spradley (1997: 5-6) dalam bukunya “The
Etnographic Interview” yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
dengan judul “Metode Etnografi”
sebagai berikut:
“Tiga
orang anggota kepolisian yang sedang memberikan pijitan jantung dan bantuan
oksigen kepada seorang wanita korban serangan jantung, tetapi malah diserang
oleh segerombolan yang terdiri atas 75 sampai 100 orang yang jelas-jelas tidak
memahami upaya yang sedang dilakukan polisi. Anggota polisi lain menghadang
gerombolan yang kebanyakan berbahasa Spanyol itu sampai sebuah ambulan datang.
Para anggota kepolisian itu menjelaskan kepada kerumunan orang itu mengenai apa
yang mereka kerjakan, tetapi kerumunan itu tetap beranggapan bahwa para anggota
polisi itu memukul wanita tersebut. Meskipun upaya keras telah dilakukan oleh
anggota polisi namun korban serangan jantung itu, Evangelica Echevacria, 59
tahun, meninggal dunia.”
Dari
kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun menghadapi peristiwa atau
fenomena yang sama yaitu seorang wanita yang mendapat serangan jantung,
sehingga perlu diselamatkan kemudian diberi bantuan oleh polisi, namun
peristiwa tersebut diinterpretasikan sangat berbeda oleh kelompok masyarakat
tadi dengan polisi. Polisi berdasarkan kebudayaannya menginterpretasikan wanita
itu mengalami gangguan jantung, sehingga perlu diselamatkan dengan memberikan
pijitan jantung dan memberikan oksigen kepada wanita itu. Sedang gerombolan itu
mengamati peristiwa yang sama tetapi dengan interpretasi yang berbeda.
Gerombolan itu berdasarkan kebudayaannya menginterpretasikan tingkah laku polisi sebagai tindak kekerasan
karena dipersepsikan memukul, dan gerombolan itu bertindak untuk menghentikan
perbuatan polisi yang mereka pandang sebagai perbuatan jahat.
Dari
contoh peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1)
Interpretasi terhadap makna kejadian antara polisi dan
gerombolan sangat berbeda.
2)
Perbedaan interpretasi terhadap makna kejadian tersebut
disebabkan latarbelakang budaya yang berbeda.
Untuk
memantapkan penjelasan bahwa suatu peristiwa atau fenomena yang sama dapat
dimaknai secara berbeda, penulis mencoba menambah contoh dengan mengutip contoh
yang diberikan oleh Clifford Geertz (1992: 7 - 8) “The Interpretation of Cultures, Selected Essays” yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Tafsir Kebudayaan”. Geertz memberikan contoh tentang anak yang
mengedipkan mata. Perilaku mengedipkan mata dapat memiliki makna yang
berbeda-beda. Pertama, anak yang
mengedipkan mata hanya karena kedutan. Di sini anak yang mengedipkan matanya
mempunyai makna adalah karena kedutan. Kedua,
anak yang mengedipkan mata karena memberi isyarat. Disini anak melakukan
kedipan mata dengan sengaja untuk memberi isyarat, misalnya saat dimulainya
suatu persekongkolan dengan sekelompok anak lain. Ketiga, anak mengedipkan mata karena sedang latihan atau melatih
orang lain untuk bermain badut-badutan.
Dari
uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perilaku yang sama yaitu mengedipkan
mata ternyata dapat mengandung makna yang berbeda-beda. Menurut Geertz (1992:
6) untuk dapat memahami makna tersebut seseorang harus melakukan “thick description” (“lukisan mendalam”),
yang pada hakikatnya sama dengan melakukan interpretasi.
Kesimpulan ini analog dengan pernyataan Geertz (1992: 5) sebagai berikut:
“Dengan percaya pada Max Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang
bergantung pada jaringan-jaringan makna
yang ditenunnya sendiri, saya menganggap kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atasnya
tidak merupakan ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu
yang bersifat interpretif untuk mencari
makna.”
Gambar : Clifford Geertz