Hermeneutik
Berikut
akan dijelaskan pengertian Hermeneutik serta fungsi dan statusnya dalam ilmu
pengetahuan kemanusiaan (Geisteswissenschaften)
dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Telah
dijelaskan bahwa interpertive, hermeneutik maupun fenomenologi merupakan metode
analisis yang mempunyai tujuan yang sama yakni mencari pemahaman yang mendalam
(verstehen) atau dengan kata lain
mencari makna di balik fenomena. Cara yang dilakukan adalah melakukan
interpretasi terhadap suatu fenomena. Kalau demikian apa bedanya antara
interpretive dengan hermeneutik? Untuk itu akan dijelaskan apa yang dimaksudkan
dengan hermeneutik.
Secara
etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan
penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan pada tokoh
mitologis yang bernama Hermes, yaitu utusan yang mempunyai tugas menyampaikan
pesan dewa Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dewa di Gunung
Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu
fungsi Hermes sangat penting karena apabila terjadi kesalahpahaman tentang
pesan-pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes
harus mampu menginterpretasikan pesan dewa-dewa ke dalam bahasa yang
dipergunakan oleh para pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol
seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi
itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan (Sumaryono,
1993: 24). Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti”. Batasan umum ini selalu dianggap benar,
baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Palmer,
1969: 3 dalam Sumaryono, 1993: 24).
Gambar : Hermes dalam Mitologi Yunani
Hermeneutik
dalam pandangan klasik akan mengingatkan kepada apa yang ditulis oleh
Aristoteles dalam Peri Hermeneias
atau De Interpretatione. Yaitu: bahwa
kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan
kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan.
Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang
lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan orang
lain. Akan tetapi pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara
langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga
pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu (De Interpretatione, I. 16. a. 5 dalam
Sumaryono, 1993: 24).
Pada
masa itu Aristoteles sudah menaruh minat terhadap interpretasi. Menurut
Aristoteles, tidak ada satu pun manusia yang mempunyai baik bahasa tulisan
maupun bahasa lisan yang sama dengan lain. Bahasa sebagai sarana komunikasi
antara individu dapat juga tidak berarti sejauh orang yang satu berbicara
dengan yang lain dengan bahasa yang berbeda. Bahkan pengalihan arti dari bahasa
yang satu ke bahasa yang lain juga dapat menimbulkan banyak problem. Manusia
juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda. Kesulitan itu akan muncul lebih
banyak lagi jika manusia saling mengomunikasikan gagasan-gagasan mereka dalam
bahasa tertulis (Sumaryono, 1993: 24).
Dari
uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun manusia mempunyai
pengalaman mental yang sama, misalnya susah, gembira, kecewa, bangga, simpati,
benci, rindu dan lain-lain, tetapi pengungkapan dalam bahasa baik bahasa
tulisan maupun lisan berbeda. Begitu pula walaupun mempunyai pengalaman mental
yang sama seperti sakit, ekspresi lisan orang yang satu dengan orang lain tidak
sama. Demikian pula dalam berkomunikasi, walaupun mereka berkomunikasi dalam
bahasa yang sama, belum tentu mereka memiliki pemahaman yang sama. Bahkan dalam
pengalihan bahasa (penerjemahan) dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain
dapat menimbulkan banyak persoalan.
Pengungkapan
pengalaman mental ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis ke dalam
kata-kata yang diucapkan atau ditulis mempunyai kecenderungan dasar untuk
mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman mental atau sebuah konsep mempunyai
nuansa yang kaya dan beranekaragam. Tetapi kekayaan dan keanekaragaman nuansa
tersebut tidak dapat tercakup seluruhnya dalam sebuah kata yang diucapkan atau
ekspresi yang diperlihatkan. Kita sering mengungkapkan pengalaman mental ke
dalam kata-kata atau ungkapan yang biasa dipakai orang pada umumnya, kita tidak
berusaha mengungkapkan dengan kata-kata yang lebih baik dan lebih jelas. Orang
pada umumnya mengungkapkan kesedihan atau kegembiraan sebagaimana orang
biasanya berbuat. Mereka pada umumnya tidak mengungkapkan nuansa-nuansa dan
corak khusus dari pengalamannya sendiri yang bersifat pribadi. Apabila kita
berbicara, maka kata-kata yang kita ucapkan pada dasarnya lebih sempit bila
dibandingkan dengan buah pikiran atau pengalaman kita. Apabila kita menuliskan
pengalaman kita, maka kata-kata yang tertulis, juga menjadi lebih sempit
artinya.
Pada
dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Manusia menyampaikan hasil
pemikirannya melalui bahasa, kita berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita
memahami sesuatu dan menginterpretasikan sesuatu melalui bahasa. Begitu pula
mengapresiasi sesuatu seni dengan bahasa, atau mengungkapkan kekaguman karya
seni dengan bahasa, dan lain-lain. Hermeneutik membantu kita untuk
menginterpretasikan makna yang terkandung dalam bahasa yang tertulis dalam
buku, dokumen, majalah, surat dan lain-lain, agar makna yang kita tangkap
sesuai dengan makna yang dimaksud oleh penulisnya.
Disiplin
ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab
suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti Al-Quran,
kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti
memerlukan interpretasi atau hermeneutik (Sumaryono, 1993: 28).