TEORETISI POSTMODERNISME

TEORETISI POSTMODERNISME
1) Francouis Lyotard
Dilahirkan di Versailles 10 Agustus 1924, dan meninggal di Paris tahun 21 April 1998. Dalam buku The Postmodern Condition, ia memperlihatkan bagaimana identifikasi pengetahuan bersama representasi, karakteristik masyarakat modern, tindakan yang kita tampilkan mereduksi ragam dari tindakan yang kita tampilkan dalam bahasa menjadi denotasi. Bahasa kemudian menjadi serangkaian pernyataan yang dapat diperlakukan sebagai benda, sebagai komoditas dalam masyarakat kapitalis. Bagi Lyotard pengetahuan rasional tidakbisa lagi dijadikan sebagai dasar bagi kritik, juga tidak memiliki emansipasi sebagaimana dijanjikan oleh para pemikir pemikir abad pertengahan. Pengetahuan adalah narasi teror Barat, sejauh yang dituju adalah membungkam cerita-cerita lain dengan menyajikan dirinya sebagai satu-satunya penjelasan yang benar dan absah.

Bagi Lyotard, postmodernisme itu sepertinya intensifikai dinamisme, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan eksperimentasi dan revolusi kehidupan terns-mencrus. Lyota mengatakan, "Marilah kita perangi totalitas ... marilah kita hidupkan perbedaan. Kenyataannya, postmodernisme menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif teoritis yang berbeda-beda : ”Ilmu pengetahuan postmodern bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa; ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pndangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertolernsi atas pendirian yang tak mau dibanding-bandingkan.

2) Michel Faucault (1926 – 1984)
a. Discourse, Power and Knowledge
Pemikiran Nietzhe berimbs pada pemikiran Foucault. Faucoult memang tidak secara tegas menolak keuniversalan pengetahuan, tetapi dari pandangannya tentang wacana yng bersifat diskontinu” tampaklah penolakan itu. bagai Foucault , setiap era sejarah memiliki pandangan, deskripsi, klasifikasi, dan pemahaman tentang dunia secara khas, berbeda dengan era sejarah yang lain. Dengan kata lain, era historis yang berbeda tentunya memiliki perbedaan episteme untuk setiap periodenya. Pandangan diskontinuitasnya ini merupakan salah satu aspek dari gugatannya terhadap tema-tema modern seperti asal-muasal, tujuan akhir, kontinuitas, totalitas, dan subjek yang utuh.

Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan “klsik” yang ditolak oleh Foucault, yaitu:
a) Pengetahuan itu tidak bersifat metafisis, transendental atau universal, tetapi khas untuk setiap waktu dan tempat
b) Tidak ada pengetahuan menyeluruh yang mampu menangkap karakter ”objektif” dunia, tetapi pengetahuan itu selalu mengambi perspektif
c) Pengetahuan tidak dilihat sebagai cara pemahaman yang netral dan murni, tetapi selalu terikat dengan rezim-rezim kekuasaan.
d) Pengetahuan sebagai wacana tidak muncul sebagai evolusi sejarah yang konstan, melainkan bersifat diskontinu.

Salah satu yang paling inspiratif bagi postmodernisme adalah sikapnya dalam memahami fenomena-fenomena modern yang bernama “pengetahuan” itu, terutama pengetahuan sosial, ia memerkarakan tentang “Apa itu pengetahuan” secara genealogis dan arkeologis, artinya dengan melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi dan mengembangkan diri selama ini. Kategori-kategori konseptual macam “kegilaan”, “seksualitas”, “manusia”, dan sebagainya yang biasanya dianggap “natural” itu sebetulnya adalah situs-situs produksi pengetahuan, yang membawa mekanisme-mekanisme dan aparatus kekuasaan; kekuasaan untuk “mendefinisikan” siapa kita. Ilmu ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan adalah agen-agen kekuasaan itu. Kendati kekuasaan itu tidak selalu negatif-represif melainkan juga positif-produktif (menciptakan kemampuan dan peluang baru), toh secara umum ia memaksa kita memahami kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan melainkan sebagai proses kian intensif dan ekstensifnya pengawasan (surveillane) lewat ”penormalan”, regulasi dan disiplin (Discipline and Punish, Power/Knowledge).

b. Arkeologi Foucault

Jika kita memandang modernitas bermula pada abad ke 16 dan ke-17, maka karya Foucault bisa dilihat sebagai refleksi kritis atas perbedan antara bentuk-bentuk kebudayaan pra-modern dan modern. Dalam Madnes and Civilization (1961) Foucault mengawali gagasannya tentang ”arkeologi kebisuan penderita kegilaan” di dalam suatu dunia di mana penderita kegilaan menggantikan penyakit kusta sebagai kematian ”yang telah tiba”.

Menurut Foucault, “posisi liminal” penderita kegilaan di abad pertengahan terlihat dari disingkirkannya mereka secara sosial ke dalam ”bahtera untuk orang-orang sinting”. Humanisme renaissance berperan membebaskan suara penderita kegilaan sekaligus mengontrolnya dengan cara memasukkan kegilaan ke dalam ”semesta diskursus”, namun demikian, hanya dalam periode klasiklah penderita kegilaan direduksi menjadi kebisuan dengan jaln mengungkungnya dalam rumah-rumah sakit.

Foucault berangkat dari gagasan tentang episteme atau ”bidang epsitemologis” yang mengatur syarat-syarat bagi pengetahuan yang mungkin. Menurut Foucault, terdapat tiga episteme berbeda-beda yang saling mendukung masa renaissance, period-periode klasik, dan abad ke-19, yang memisahkan periode klasik dengan abad ke-19 adalah bahwa yang terdahulu masih mempertahankan hubungan yang tak terbatas, sedangkan masa berikutnya meneguhkan perbatasan analitis.

c. Geneology of Knowledge

Gagasan tentang geneologi muncul sejak pidato inaugurasi Foucolt yang lantas diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Discourse on Language (1971 : 1972). Di sini gagasan tersebut muncul demi melengkapi analisis tentang aspek diskursu yang mirip sistem dengan suatu analisis tentang bagaimana aspek itu terbentuk. Tugas geneologi kekuasaan sesungguhnya adalah menganalisis silsilah pengetahuan. 

Menurut Foucault, pembedaan Nietzsche antara asal usul (origin) dan silsilah (descent) adalah pembedaan antara presentasi sejarah sebagai terbentangnya suatu gagasan secar jelas serta sebagai fenomena yang murni kebetulan. 

Studi paling terkenal dalam periode ini adalah Discipline and Punishment (1975). Sekali lagi modernitas sebagai pemisah paling menentukan antara periode klasik dn abad ke-19 dipersoalkan. Terdapat dua bentuk masyarakat yang berbeda, yang didominasi oleh dua bentuk kekuasaan yang amat berlainan. Konsep kedaulatan yuridiko-politis dalam masyarakat pra-modern menyelenggarakan eksekusi publik untuk memperbarui kedaulatan yang keropos.s edangkan dalam modernitas, adanya bentuk-bentuk baru ”penghukuman yang digeneralisasikan” disebbkan oleh adanya bentuk baru kekusan yang merembeas dan menjangkau setiap bagian tubuh sosial, dan yang tergambarkan paling jelas dalam Pnopaticon Bentham.

Serangan Foucault terhadap hipotesis ekspresif merupakan konsekuensi dari gagasan barunya tentang kekuasaan. Foucault bukannya mengonsepsi modernitas sebagai sumber pembatasan seks, namun sebagai penyebab penyebarannya, terseretnya seks ke dalam diskursus. Di sini ia memperkenalkan gagasan tentang bio-power. Namun, pada volume-volume kelanjutannya ternyata dia tidak mengulas hal itu.

d. Kilas balik Filsafat Foucault
Foucault dalam karya use of Pleasure (1984a) dan Care of The Self (1984b) tidak mengonsentrasi diri pada kaidah internal atau regularitas formasi diskursif. Namun, kini mengarahkan perhatian pada hubungan antara manusia dan dunia.

Pengarahan arkeologi menuru “problematisasi” ini lebih merupakan suatu peralihan hermeneutis dalam pemikirannya mengenai kebudayaan. Dalam dua buku itu Foucault kembali, meski dalam bentuk yang telah dimodifikasi, pada jenis gaya analisis komplementer yang pernah ia janjikan dalam pidato inaugarasinya Dengan begitu, meski terdapat perubahan dalam programnya, tetap tertarik pada persoalan sentral berupa bagaimana manusia Barat akhirnya sebegitu jauh melibatkan dirinya sendiri dalam persoalan seksualitasnya Karya Foucault mengenai sejarah dapat menimbulkan salah paham. Kontroversi mengenai karyanya pun tak jarang dijumpai.

Subscribe to receive free email updates: