Bailout Century Dari Perspektif Ekonomi dan Keuangan Negara

Untuk melihat apakah bail out Century memiliki argumentasi kuat secara ekonomi, ada baiknya kita melihat komparasi situasi ekonomi antara ketika krisis 1997/98 dan krisis 2008. Biasanya, indikator yang digunakan untuk melihat adanya tekanan terhadap pasar keuangan kita adalah nilai tukar, IHSG, cadangan devisa, uang beredar, inflasi, dan indikator perbankan[1].

Pada tahun 1997/1998 Suku bunga SBI juga lebih tinggi dibanding suku bunga KI dan KMK. Situasi ini menyebabkan, bank lebih suka menaruh dananya pada SBI dibandingkan menyalurkan kredit. Kondisi ini, berbeda dengan situasi tahun 2008. Sekalipun terjadi peningkatan suku bunga, namun tekanan suku bunga perbankan tidak setinggi krisis 1997/1998. Disamping itu, sekalipun meningkat, suku bunga SBI juga masih lebih rendah dibanding suku bunga KI dan KMK, sehingga tidak mengurangi minat bank menyalurkan kredit.

Berdasarkan analisis di atas, terlihat bahwa situasi krisis pada tahun 2008 memang berbeda dibandingkan krisis tahun 1997/1998. Bila menggunakan ukuran “sistemik”, situasi krisis 1997/1998 jauh lebih sistemik dibandingkan krisis tahun 2008. Oleh karenanya, karena argumentasi bail out Century didasarkan pada alasan bisa menimbulkan krisis sistemik, tentunya memang harus ditelaah secara objektif bagaimana ukuran sistemik yang dipakai tersebut. Kita juga tidak tahu bagaimana suasana psikologis yang terjadi ketika bail out Century diputuskan. Patut diduga bahwa krisis 1997/1998 masih menghantui para pengambil kebijakan kita waktu itu.

Bawa Perppu JPSK Ke MA Atau MK

Untuk menentukan kebijakan bail out Century, yang kini sudah masuk wilayah politik, tepat atau tidak tepat, Pansus DPR RI tidak bisa hanya mengandalkan judgement ekonomi. Karena Pansus adalah lembaga politik, semestinya mendasarkan keputusannya pada judgement hukum. Sayangnya payung tersebut juga tidak ada. Meski UU BI, sejak 2004 telah mengamanatkan agar kita memiliki UUJPSK, ternyata hingga kini tidak berhasil diwujudkan Pemerintah dan DPR. Sementara itu, Perppu JPSK inisiatif Pemerintah, kini tidak jelas kedudukannya untuk menjustifikasi kelayakan bail out Century.

Perlu diketahui bahwa bail out Century bermula dari penetapan Century sebagai bank gagal sistemik. Penetapan ini didasarkan pada Perppu JPSK. Penulis berpendapat, secara hukum penetapan Century sebagai bank gagal sistemik yang kemudian berimplikasi pada bail out tahap pertama sebesar Rp632 milyar adalah sah, karena didasarkan pada Perppu JPSK yang diakui dalam hukum ketatanegaraan kita. Sayangnya, Perpu JPSK hanya berlaku 3 bulan. Terlebih lagi, pada Sidang Paripurna 18 Desember 2008, DPR dikabarkan juga tidak menyetujui Perppu JPSK. Akibat ketidakpastian hukum inilah yang kini menimbulkan komplikasi hukum atas bail out Century pada empat tahap selanjutnya hingga mencapai Rp6,7 trilyun.

Dana Bail Out Century Bagian Keuangan Negara

Isu lain yang juga krusial adalah status dana yang digunakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk mem-bail out Century. Sebagian berpendapat bahwa dana bail out Century bukan bagian keuangan negara, karena dibayarkan dari hasil premi nasabah. Sebagian yang lain berpendapat bahwa dana LPS adalah bagian keuangan negara.

Untuk menentukan dana LPS itu bagian dari keuangan negara atau tidak, kita bisa mengambil analogi BUMN. BUMN adalah perusahaan milik negara yang modalnya berasal dari APBN yang dipisahkan. Menurut UU Keuangan Negara, BUMN adalah bagian dari keuangan negara yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Jadi, sekalipun dana yang digunakan untuk kegiatan investasi (misalnya: BUMN Asuransi) berasal dari dana nasabah, institusi BUMN adalah bagian dari keuangan negara. Itulah sebabnya, institusi hukum dapat menetapkan status korupsi bila aktivitas investasi BUMN dilakukan dengan melanggar ketentuan.

Analogi yang terjadi di BUMN ini sesungguhnya sama dengan LPS. Cara kerja LPS itu mirip dengan BUMN Asuransi. Dimana, LPS menerima premi nasabah dan menginvestasikannya dalam jenis-jenis investasi, termasuk penyertaan modal sementara (PMS) ke Century. Jika ternyata dalam kegiatan investasi LPS tersebut terdapat kerugian negara, institusi hukum dapat menetapkan adanya unsur korupsi, bila kerugian investasi ini dilakukan karena melanggar ketentuan. Terlebih lagi, status hukum LPS bukanlah badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT), sebagaimana BUMN, tetapi masih menggunakan sistem APBN[2].

[1]Harian Republika, Edisi 07 Januari 2010
[2]Harian Republika, Edisi 07 Januari 2010

Subscribe to receive free email updates: