PENGERTIAN FENOMENOLOGI

PENGERTIAN FENOMENOLOGI
Sebelum diuraikan Fenomenologi sebagai metoda analisis dalam Penelitian Kualitatif, akan diuraikan lebih dulu pengertian Fenomenologi.

Berdasarkan faham Fenomenologi, dalam / berkenaan dengan pengetahuan manusia terdapat dua hal yang pokok yaitu subjek yang ingin mengetahui dan objek yang akan diketahui. Subjek dan objek ini dapat dibedakan secara jelas dan tegas, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya harus ada, keduanya merupakan satu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia. Oleh Sonny Keraf dan Mikhael Dua (2001: 19) dinyatakan: “Supaya ada pengetahuan, keduanya niscaya ada, Yang satu tidak pernah ada tanpa yang lain…..”. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Merleau Ponty (dalam Bertens, 1985: 345) yang menyatakan: “Ia (fenomenologi) sangat menekankan hubungan dialektis antara subjek dan dunianya: tidak ada subjek tanpa dunia dan tidak ada dunia tanpa subjek”. Oleh karena itu menurut Husserl agar terwujud pengetahuan, subjek harus terarah pada objek agar dapat diketahui sebagaimana adanya, sebaliknya objek harus terbuka kepada subjek agar dapat pula diketahui sebagaiman adanya.

Di sini perlu dipahami bahwa keterarahan subjek kepada objek hanya akan menghasilkan pengetahuan apabila subjek yaitu manusia memiliki kesamaan-kesamaan dengan objek yang diamati. Kalau tidak, objek tidak mungkin dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja. Dengan kata lain pengetahuan itu hanya mungkin terwujud apabila manusia itu sendiri memiliki kesamaan dengan objek sebagai realitas di alam semesta ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya melalui dan berkat unsur jasmaninya manusia dapat mengetahui objek yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak mampu mengetahui dunia dan segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan manusia dianggap bersifat temporal, kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani, melainkan juga memiliki jiwa atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini berarti manusia berkat akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan yang kongkret yang ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan mencapai pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek apa saja pada tempat dan waktu mana pun.

Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859 – 1938) merupakan metoda untuk menjelaskan fenomena dalam kemurniannya. Fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran manusia. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun berupa kenyataan (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105). Selanjutnya dikatakan yang penting ialah pengembangan suatu metoda yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya. Untuk tujuan itu fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada fenomena tersebut tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya.

Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada barangnya sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang yang tampil sebagaimana adanya dalam kesadaran itulah fenomena (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).

Usaha kembali kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metoda tersebut harus dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat mengungkapkan diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi, melainkan intuisi mengenai hakekat sesuatu (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).

Selanjutnya dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah sacara langsung terjangkau sebagaiman adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional, artinya terarah pada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri. Pengamatan serta pemahaman, pembayangan serta penggambaran, hasrat serta upaya, semuanya senantiasa bersifat intensional, terarah kepada sesuatu. Hanya dengan melakukan analisis mengenai intensionalitas ini kesadaran itu dapat ditemukan. Untuk itu seorang fenomenolog harus sangat cermat “menempatkan diantara tanda kurung” kenyataan dunia luar agar fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan dunia luar ini memerlukan metoda yang khas. Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik atau epoche (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 106). Reduksi tersebut terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu reduksi eidetik yang memperlihatkan hakekat (eidos) dalam fenomena, dan reduksi transendental yang menempatkan dalam “tanda kurung” setiap hubungan antara fenomena dengan dunia luar. Melalui kedua macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran transendental, sedangkan kesadaran terhadap pengalaman emperik sebetulnya hanya merupakan bentuk pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transendental.

Sedang Calra Willig (1999: 51) menjelaskan bahwa Fenomenologi Transendental yang diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke 20 menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai manusia. Tujuannya ialah agar kembali ke barangnya/bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil kepada kita dan mengesampingkan atau mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka. Dengan kata lain fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia dengan konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataaan abstrak tentang kealamiahan dunia secara umum. Fenomenologi menekankan fenomena yang tampil dalam kesadaran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling kita (“Transendental phenomenologi, as formulated by Husserl in the early twentieth century, is concerned with the world as it presents itself to us as humans. Its aim was to return to things themselves, as they appear to us perceivers, and to set aside, or bracket, that which we (think) we already know about them. In other words, phenomenology is interested in the world as it is experienced by human beings within particular contexts and at particular times, rather than in abstract statements about the nature of the world in general. Phenomenology is concerned with the phenomena that appear in our consciousness as we engage with the world around us”).

Menurut perspektif fenomenologi, tidak masuk akal untuk berpikir/berpendapat bahwa dunia objek dan subjek terpisah dari pengalaman kita. Ini dikarenakan seluruh objek dan subjek pasti hadir kepada kita sebagai sesuatu, dan manifestasinya seperti ini atau itu membentuk realitasnya pada suatu saat manapun. Penampilan suatu objek sebagai fenomena perseptual bervariasi menurut lokasi dan konteks, segi pandang subjek, dan terpenting, orientasi mental dari subjek (misalnya hasrat, kebijakan, penilaian, emosi, maksud dan tujuan). Inilah yang disebut intensionalitas. Intensionalitas membiarkan objek menampakan diri sebagai fenomena. Ini berarti bahwa “diri dan dunia merupakan komponen-komponen makna yang tidak dapat dipisahkan” (Moustakas, 1994: 28). Di sini makna bukan merupakan sesuatu yang ditambahkan pada persepsi, sebagai sesuatu yang dipikirkan sesudah persepsi. Sebaliknya persepsi selalu bersifat intensional, oleh karena itu merupakan unsur konstitutif pengalaman itu sendiri. Akan tetapi pada waktu yang sama fenomenologi transendental mengakui bahwa persepsi kurang lebih dapat menyatu dengan ide-ide atau keputusan-keputusan. Fenomenologi mengidentifikasikan strategi-strategi yang dapat membantu putusan memokuskan diri “di mana letak kemurnian fenomenologi” (Husserl, 1931: 262), dan memantulkan apa yang kita bawa serta pada aktivitas persepsi dengan merasa, berpikir, mengingat dan memutuskan. Hal ini merupakan implikasi metodologi fenomenologi (Willig, 1999: 51)

(“According to a phenomenological perspective, it makes no sense to think of the world of objects and subjects as separate from our experience of it. This is because all objects and subjects must present themselves to us as something, and their manifestation as this or that something constitutes their reality at any one time. The appearance of an object as a perceptual phenomenon varies depending upon the perceiver’s location and context, angle of perception and importanly, the perceiver’s mental oriention (e. q. desires, wishes, judgements, emotions, aims and purposes). This is referred to as intentionality. Intentionality allows objects to appear as phenomena. This means that “self and world are inseparable components of meaning” (Moustakas 1994: 28). Here, meaning is not something that is added on to perception as an afterthought; instead, perception is always intentional and therefore constitutive of experience itself. However, at the same time, transcendental phenomenology acknowledeges that perception can be more or less infused with ideas and judgements. It identifies strategies that can help us to focus on “ that which lies before one in phenomenological purity” (Husserl, 1931: 262), and to reflect on that which we bring to the act of perception through feeling, thingking, remembering and judging. This takes us on to the methodological implications of phenomenology (Willig, 1999:51). 

Subscribe to receive free email updates: