PENGERTIAN NEOREALISME

Sebagai varian dari realisme, neorealisme seringkali dikenal dengan realisme struktural, yang dibedakan dengan realisme tradisional. Sebagaimana realisme, neorealisme menjadikan negara dan perilaku negara fokusnya dan berusaha menjawab pertanyaan mengapa perilaku negara selalu terkait dengan kekerasan. Semua tradisi realis berangkat dari filsafat keharusan (the philosophy of necessity)[1] yakni melihat perilaku negara sebagai produk dari sebuah kondisi yang tak terelakkan. Dalam pemikiran realis, baik tradisional maupun struktural, perilaku negara yang keras merupakan konsekuensi dari endemiknya kekuasaan dalam politik internasional, seperti secara jelas diekspresikan oleh Morgenthau, ,international politics is... struggle for power’ (1985). Dalam artian filsafat keharusan ini, politik internasional bersifat amoral.

Tetapi, realisme tradisional dan realisme struktural menjelaskan secara berbeda mengapa politik internasional memiliki karakter endemik yang ditandai dengan perebutan kekuasaan. Bagi realis tradisional, perebutan kekuasaan yang berlangsung terus menerus dalam politik internasional bersumber pada hakekat manusia. Berangkat dari pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh antara lain Tucydides, Machiavelli dan Hobbes, yang melihat pada dasarnya manusia bersifat self-interested dan dalam kondisi state of nature akan berperang satu sama lain, realis tradisional memproyeksikan negara akan memiliki karakter yang sama, karena politik internasional pada dasarnya adalah gambaran dari state of nature dalam arti yang sebenarnya, tidak lagi merupakan kondisi hipotetis sebagaimana yang digambarkan oleh Hobbes dalam Leviathan.

Bagi realisme struktural, penjelasan terhadap endemiknya perebutan kekuasaan dalam politik internasional bukan berasal dari hakekat manusia (negara), melainkan dari struktur yang menjadi konteks dari perilaku negara-negara. Dalam sebuah sistem yang secara struktural anarkhi, negara harus bertindak semata-mata berdasarkan kepentingannya sendiri, yang berarti mengejar kekuasaan sebesar-besarnya. Dalam sistem yang anarkhi, negara tidak bisa menggantungkan keamanan dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, melainkan pada kemampuannya sendiri (self-help), yakni mengumpulkan berbagai sarana terutama (tetapi bukan satu-satunya) militer untuk berperang melawan negara lain. Tetapi, kebutuhan sebuah negara untuk mempertahankan diri dengan memperkuat kekekuatan militernya, bagi negara lain merupakan sumber acaman dan menuntut negara lain tersebut melakukan hal yang sama, dan dikenal sebagai dilema keamanan (security dilemma).

Untuk menekankan pentingnya struktur sebagai pembentuk perilaku negara, neorealis membedakan secara tegas karakter politik internasional yang anarkhis dengan politik domestik yang hirarkhis, yang menggambarkan dua prinsip pengorganisasian sistem yang berbeda (the ordering principle of the system). Dua karakteristik lain yang membentuk pemikiran neorealis adalah karakter unit dalam sistem dan distribusi kapasitas unit dalam sistem (Waltz, 1979). Karakter unit dalam sistem mengacu pada fungsi yang dijalankan oleh unit-unit dalam sistem, yakni negara. Dalam pandangan neorealis, semua unit memiliki fungsi yang sama yakni menjamin kelangsungan hidupnya. Tetapi, sekalipun semua negara memiliki fungsi yang sama, negara-negara tersebut berbeda dalam kemampuan, sebagaimana tercermin dalam distribusi kekuasaan yang seringkali tidak seimbang dan sering berubah. Singkatnya, seperti ditulis oleh Waltz, semua negara ‚memiliki kesamaan tugas, tetapi tidak dalam kemampuan untuk menjalankannya. Perbedaannya terletak pada kapabilitas, bukan pada fungsi mereka’ (h. 96).

Beberapa tokoh utama neorealisme antara lain Kenneth Waltz, Stephen Krasner, Robert Gilpin, Barry Buzan, Richard Little dan Charles Jones. Diantara tokoh-tokoh ini, Kenneth Waltz merupakan yang paling menonjol dalam kaitannya dengan perkembangan teoretis studi hubungan internasional. Karyanya, Theory of International Politics, bukan hanya dianggap sebagai karya yang paling komprehensif dan elaboratif yang menggambarkan pemikiran dan posisi neorealism, tetapi juga merupakan produk dari upaya yang sangat ambisius untuk menjadikan Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin yang mapan, yang sederajat dengan disiplin lain.

Theory of Internasional Politics dimaksudkan oleh Waltz untuk memberikan kemampuan eksplanasi yang sangat tinggi (dalam bentuk hubungan kausalitas antar variabel) terhadap fenomena-fenomena politik internasional. Kemampuan ini merupakan kriteria yang sangat penting yang harus dimiliki oleh Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin, tetapi gagal ditunjukkan oleh realisme. Realisme gagal menjelaskan mengapa berbagai negara yang berbeda atau bahkan bertentangan, misalnya, secara ideologis ataupun politik, tetap berperilaku sama. Mengapa Uni Soviet yang komunis dan Amerika yang liberal kapitalis sama-sama teribat dalam kompetisi merebut kekuasaan, membangun kekuatan militer, atau mengembangkan pengaruh (sphere of influence)? Menurut Waltz, kegagalan realisme menjelaskan kesamaan perilaku berasal dari metodologi yang digunakannya, yakni metodologi behaviouris. Metodologi ini terlalu mengabaikan aspek faktor penting yang menjadi batas-batas kebijakan luar negeri atau perilaku negara. Aspek penting yang menjadikan perilaku negara homogin, dalam pemikiran Waltz, terletak pada kekuatan sistemik, yakni struktur internasional.

Secara metodologis, pemikiran Waltz berbeda dengan metodologi behaviouris dalam artian bahwa mereka memberi penekanan pada peringkat analisa yang berbeda: unit dan struktur. Metodologi behaviouris berusaha menjelaskan produk politik (perilaku atau kebijakan negara) dengan jalan mengamati unit-unit atau bagian-bagian yang membentuk sistem. Dengan cara ini, semua yang terjadi dalam politik internasional dijelaskan dengan melihat perilaku dan hubungan antar unit dalam politik internasional (negara), yakni perilaku dan interaksi yang didasari oleh tuntutan alami yang dimiliki oleh negara (prinsip-prinsip hakekat manusia) untuk berperilaku sesuai dengan kepentingannya (self-interested), yang dalam prakteknya didefinisikan dengan kekuasaan. Metodologi behaviouris oleh Waltz dikategorikan sebagai teori yang reduksionis.

Metodologi strukturalis Waltz bersifat sistemik, yakni menempatkan sistem sebagai unit analisanya. Karakter sistemik lebih menjanjikan daripada karakter reduksionis karena mampu menjelaskan politik internasional, melalui hubungan kausal, yang sangat membatasi dan menentukan perilaku negara.

Ambisi Waltz untuk menghasilkan sebuah teori Hubungan Internasional yang sederajat dengan teori dalam disiplin-disiplin yang lebih mapan, menghasilkan reaksi yang sangat keras dari para ilmuwan Hubungan Internasional. Bahkan, tidak terlalu berlebihan juga ada kecenderungan untuk melihat perdebatan ketiga dalam Hubungan Internasional pada dasarnya adalah perdebatan antara Waltz dengan hampir semua teoritisi lain dengan tradisi pemikiran yang sangat berbeda-beda.

[1] Dalam filsafat, dalam kaitannya dengan upaya untuk melihat moralitas sebuah perilaku atau tindakan, dikenal dua prinsip: filsafat keharusan - the philosophy of necessity dan filsafat pilihan -the philosophy of choice (Arnold Wolfers, Discord and Collaboration).

Subscribe to receive free email updates: