Cara Penafsiran Hukum Pajak - Dalam pelaksanaannya, ada beberapa cara penafsiran hukum pajak, yakni:
1. Cara penafsiran secara subjektif dan objektif
a. Penafsiran subjektif adalah penafsiran yang dilakukan sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Misalnya, dalam Pasal 1 angka 29 UU. No 28 Tahun 2007, pengertian “penutupan buku” bagi yang menyelenggarakan pembukuan dilakukan pada setiap Tahun Pajak berakhir.
b. Penafsiran objektif adalah penafsiran yang dilakukan terlepas dari pendapat pembuat undang-undang (penafsiran yang sesuai dengan adat pengertian sehari-hari). Misalnya, dalam kebiasaan usaha, pengertian “penutupan buku” dilakukan pada setiap Tahun Buku barakhir.
2. Cara penafsiran secara sempit (restriktif) dan secara luas (ekstentif)
a. Penafsiran secara sempit yakni apabila pasal yang ditafsirkan diberi pengertian yang sangat dibatasi. Misalnya, pengertian “Wajib Pajak” dalam ketentuan material perpajakan (UU Pajak Penghasilan) disebutkan bahwa Wajib Pajak adalah subjek pajak yang memiliki objek pajak berupa penghasilan. Cara penafsiran ini hanya berlaku sepanjang menyangkut pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan.
b. Penafsiran secara luas, maka pengertian “Wajib Pajak” dalam ketentuan formal perpajakan (UU KUP), yakni Wajb Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.