Pasca Perang Dingin - Konsep Sistem Internasional

Konsep Sistem Internasional Pasca Perang Dingin
Masih berkaitan dengan pembahasan sistem internasional, penulis merasakan pentingnya untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai konsep keamanan nasional pasca Perang Dingin. Penyusunan kembali pemikiran mengenai bentuk hubungan internasional dengan latar belakang sistem internasional pada saat berlangsungnya dan setelah berakhirnya Perang Dingin.

Pada akhir tahun 1980-an dunia komunis telah runtuh, dan sistem internasional Perang Dingin kemudian menjadi sejarah. Pada periode setelah Perang Dingin, perbedaan yang terbesar antara orang-orang bukanlah mengenai ideologi, politik ataupun ekonomi tetapi secara kultural. Nation-State tetap menjadi aktor penting dalam masalah-masalah dunia. Perilaku mereka yang dibentuk di masa lalu dengan pencapaian terhadap kekuasaan dan kekayaan, kini juga dibentuk oleh preferensi kebudayaan, persamaan dan perbedaan-perbedaan. Pengelompokan negara-negara bukan lagi terdiri dari tiga blok seperti pada masa Perang Dingin tetapi lebih kepada tujuh atau delapan peradaban dunia.

Masyarakat non-Barat, khususnya di Asia Timur terus mengembangkan kekayaan ekonomi mereka. Bersamaan dengan peningkatan kekuatan dan kepercayaan diri, masyarakat tersebut dengan cepatnya akan menerima nilai-nilai budaya mereka sendiri dan menolak nilai-nilai yang telah diajarkan atau diwariskan kepada mereka oleh Barat.

Sistem Internasional abad ke-21, seperti yang telah dikemukakan oleh Henry Kissinger, akan terdiri dari paling sedikit enam kekuatan besar yaitu: AS, Eropa, Cina, Jepang, Rusia dan Mungkin India Juga beberapa negara yang berukuran sedang dan negara-negara yang lebih kecil. Dalam sistem internasional politik lokal adalah politik etnis, sedangkan politik global adalah politik peradaban. Persaingan antara “Super Power” digantikan oleh perseteruan dari beberapa peradaban, seperti yang dikutip dalam buku yang dikarang oleh T. May Rudy yang berjudul Studi Strategis : Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin (2001 : 63).

Tatanan Dunia dapat mengandung banyak arti. Pertama, dapat mengacu kepada suatu tingkatan empiris dari hubungan, menggambarkan pengaturan dari distribusi status di antara beberapa negara atau non-negara. Kedua, dapat mewakili pandangan normatif, menyarankan suatu sistem dari hubungan yang lebih diinginkan diantara aktor-aktor tersebut. Ketiga, istilah tersebut terkadang digunakan dalam hubungannya dengan tingkatan tertentu untuk menggambarkan tindakan dari kebijakan. Sesungguhnya terdapat analisa yang dapat diperhitungkan serta kekeliruan kebijakan diantara alternatif pandangan mengenai tatanan dunia tersebut sebagai tujuan-tujuan normatif dan perilaku-perilaku strategis. Walau demikian, pandangan-pendangan tersebut juga tentunya saling berkaitan dalam hal bahwa artikulasi yang diberikan menyarankan pengenalan dari nilai-nilai kolektif tertentu berdasarkan pemahaman tertentu akan kenyataan empiris dan pendekatan untuk mengatur atau mengubahnya, seperti yang dikutip dalam buku yang dikarang oleh T. May Rudy yang berjudul Studi Strategis : Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin (2001 : 63).

Untuk mengatribusikan pandangan-pandangan mengenai tatanan dunia kepada seluruh entitas nasional membutuhkan derajat tertentu koherensi dan homogenitas terhadap pandangan dari kebijakan komunitas yang relevan atau masyarakat publik. Atribusi yang demikian itu sepertinya dapat meremehkan perluasan kepada sampai di manakah tekanan yang signifikan dapat muncul dari ketidaksepakatan atas kenyataan, nilai-nilai dan strategi antara pemimpin, institusi, atau kelompok yang berasal dari negara yang sama.

Dasawarsa 1990-an telah secara meluas diakui sebagai awal hegemoni dan kesuperioran AS. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang telah diprediksikan mengenai AS yang seharusnya akan mengalami penurunan dalam bidang sosial-ekonomi seperti Inggris (Pax-Britanica) di masa lampau, karena terlalu luasnya beban jangkauan kekuasaan. Skenario ini tentu saja sangat sulit untuk diyakini, bahwa saingan ekonomi AS secara geopolitis lemah, sementara saingan geopolitis AS secara ekonomi berkekuatan kecil. Secara umum peting untuk mengingat bahwa praktisnya AS merupakan suatu negara benua dan benua tersebut dikaruniai oleh sistem politik yang bertahan sekaligus fleksibel, seperti yang dikutip dalam buku yang dikarang oleh T. May Rudy yang berjudul Studi Strategis: Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin (2001:64).

Dipihak lain, RRC dipandang oleh Steve Chan, secara relatif sebagai kekuatan yang memuaskan, dan akhirnya akan menerapkan norma-norma lama yang bagaimanapun juga akan meningkatkan otonomi yang dirasakan perlu, baik untuk menjaga politik domestiknya dari pengaruh asing dan juga berkenaan dengan agenda pembangunannya. Berlawanan dengan opini Barat mengenai RRC, Chan berpendapat bahwa setelah tahun 1949 RRC telah mengalami suatu metamorfosis dari penantang yang radikal menjadi suatu lawan status quo dari tatanan pandangan negara tradisional RRC yang telah menjadi pembela norma-norma lama, pada saat yang sama saat AS dan teman-temannya mempertanyakan beberapa hal dari norma-norma tersebut yang memberikan negara-negara berdaulat hak untuk menekan penduduk mereka. Masa depan RRC Juga sangat tergantung kepada bagaimana aktor-aktor terdepan lainnya merespon atas peningkatan kapabilitas militer dan ekonomi RRC, seperti yang dikutip dalam buku yang dikarang oleh T. May Rudy yang berjudul Studi Strategis : Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin (2001:61).

Subscribe to receive free email updates: