Sumber dalam Hukum Pajak

Sumber dalam Hukum Pajak - Dalam ilmu hukum, sumber hukum dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis, yang meliputi: 

1. Sumber hukum Material 
Yaitu faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum (hukum pajak), misalnya faktor-faktor yang berupa hubungan sosial, politik, ekonomi, maupun hubungan internasional. 

2. Sumber hukum Formal 
Yaitu sumber dari mana suatu peraturan hukum memperoleh kekuatan hukum atau cara yang menyebabkan peraturan hukum tersebut berlaku secara formal. Misalnya, peraturan perundang-undangan (asas Pancasila, UUD 1945, dll), kebiasaan, traktat (Tax Treaty), Yurisprudensi, dan Doktrin. 

Namun, dalam hukum pajak tidak dikenal sumber hukum yang tidak tertulis karena bedasarkan pengertian hukum pajak, kaidah hukum pajak hanya lahir karena tertulis dan tidak dilakukan secara kebiasaan. Dengan demikian, kebiasaan sebagai sumber hukum pada umumnya tidak dikenal dalam hukum pajak. 

Pancasila merupakan sumber hukum dasar nasional yang menjiwai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pancasila memiliki kedudukan sebgai alat penguji terhadap sumber hukum tertulis, apakah sudah sesuai atau malah bertentangan dengan Pancasila. Pancasila merupakan tolok ukur untuk menentukan kebenaran substansi hukum yang terkandung dalam setiap Undang-undang Pajak. 

Sumber hukum pajak yang sifatnya tertulis, terdiri dari: 

1.UUD 1945 
Sebelum amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai pajak diatur pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “ segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-undang.” Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang meletakkan kewenangan pada negara untuk memungut pajak apabila negara membutuhkannya, tetapi dengan syarat harus berdasarkan undang-undang. Tidak ada pajak tanpa persetujuan antara rakyat melalui wakilnya di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah yang diatur dengan undang-undang atau “No taxation without representation”. 

Setelah UUD 1945 diamandemen, ternyata ketentuan mengenai pajak mengalami perubahan yang sangat prinsipil. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 23A UUD 1945 yag berbunyi “pajak dan pugutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Terdapat perubahan yang prinsipil karena bukan hanya pajak, melainkan pungutan yang bersifat memaksa juga harus diatur dengan undang-undang. Hal ini merupakan suatu perkembangan positif agar tidak ada kesewenang-wenangan dalam pembebanan pungutan yang bersifat memaksa kepada warga negara. 

2. Perjanjian Perpajakan 

Tiap negara memiliki peraturan pajak yang berbeda dengan negara lain yang menyebabkan mudahnya terjadi pengenaan pajak ganda internasional sehingga menimbulkan beban yang tinggi terhadap Wajib Pajak. Untuk mengatasi hal tersebut, negara-negara yang berkepentingan mengadakan perjanjian penghindaran pajak internasional agar Wajib pajak dari tiap negara yang bersangkutan tidak dikenakan pajak ganda. Selain itu, perjanjian perpajakan juga dapat mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion). 

Wujud perjanjian perpajakan yang dilakukan Indonesia adalah dalam bentuk Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), baik perjanjian itu bersifat bilateral maupun multilateral, mengenai tarif atas bunga, deviden, royalti, dan sebagainya. 

Contoh kasus: 
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU PPh, tarif pemotongan pajak atas bunga yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri adalah sebesar 20% dari bunga bruto. Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Perjanjian Penghindaran Pajak Ganda antara Indonesia dengan Polandia, besarnya tarif pemotongan adalah 10% dari jumlah kotor bunga. Maka, sesuai dengan asas lex specialis derogate legi generalis, yang diberlakukan adalah Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) P3B tersebut. 

3. Yurisprudensi Perpajakan 
Yurisprudensi perpajakan adalah putusan pengadilan mengenai perkara pajak yang meliputi sengketa pajak dan tindak pidana pajak yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Putusan pengadilan yang terkait dengan sengketa pajak adalah Putusan Pegadilan Pajak maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak yang bersengketa, sedangkan putusan pengadilan yang terkait dengan tindak pidana pajak adalah Putusan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

4. Doktrin Perpajakan 
Agar doktrin dapat menjadi sumber hukum pajak, substansinya harus berada dalam konteks di bidag perpajakan yang dikemukakan ahli hukum pajak, mengingat substansi hukum yang terkandung dalm hukum pajak memiliki perbedaan yang sangat prinsipil dengan hukum lainnya karena hukum pajak memiliki ciri khas tersendiri. 

Pendapat ahli hukum pajak, untuk saat ini, belum dapat diharapkan untuk menunjangpengembngan hukum pajak. Hal ini disebabkan karena kelangkaan ahli hukum pajak yang dapat memberi corak tersendiri dalam perkembangan hukum pajak.

Subscribe to receive free email updates: