MASA DEPAN SUDAN PASCA REFERENDUM

Pasca referendum yang telah menghasilkan partisi kedua wilayah yang membelah Sudan Utara dan Sudan Selatan, keduanya akan menghadapi berbagai hambatan dalam pembentukan negara masing-masing. Sudan Utara telah mengalami perkembangan dalam berbagai bidang sejak kemerdekaannya di tahun 1956, namun disintegrasi yang terjadi akan berdampak banyak terhadap perekonomian negara, dan kepercayaan rakyatnya. Mengingat konflik yang terjadi antara Sudan Selatan dan Utara bukanlah satu-satunya konflik yang terjadi dalam Sudan. Sudan Selatan di lain sisi akan menghadapi hambatan layaknya sebuah negara yang baru mendapatkan kemerdekaannya. Sudan Selatan akan menghadapi kesulitan dalam pengembangan ekonomi, pembentukan sistem pemerintahan, dan permasalahan-permasalahan lainnya.

Masing-masing negara akan menghadapi berbagai permasalahan yang berbeda di tahun-tahun mendatang. Namun ada beberapa hal yang perlu Sudan Selatan dan Utara pikirkan bersama. Sebab permasalahan tersebut akan menjadi penghambat dalam integrasi, serta pembentukan negara. Salah satu permasalahan yang mampu mempengaruhi prosesi kedua negara untuk berkembang adalah terpecahnya konflik antar kedua pihak di masa yang akan mendatang, contohnya adalah konflik di Abyei.

Abyei berlokasi di perbatasan Sudan Utara dan Sudan Selatan. Abyei menjadi bagian dari Sudan, ataupun Sudan Selatan masih menjadi sumber konflik saat ini, tak jarang menjadi konflik bersenjata. Sudan Selatan dan Utara masing-masing memilki kepentingan dalam Abyei tersebut. Abyei menjadi salah satu daerah dimana sumber minyak tergolong banyak. Melepaskan daerah tersebut kepada negara lain, bisa menyebabkan pelepasan kesempatan pendapatan bagi negara. Persediaan minyak di Abyei tidak menjadi satu-satunya sumber konflik yang terjadi, inti permasalahan memiliki nilai historis dan etnis terlibat didalamnya.

Abyei merupakan rumah bagi 2 kelompok etnis di Sudan, yaitu suku Dinka (dari Sudan Selatan), serta suku Arab Misseriya (Sudan Utara).[1] Masing-masing suku tersebut ingin menjadi bagian dari negara asal suku mereka tersebut. Secara historis, suku Dinka dan suku Misseriya merupakan suku yang sangat aktif dalm perang sipil pertama dan kedua, sehingga semangat nasionalisme masing-masing suku terhadap asal mereka sangat besar.

Konflik yang baru terjadi di Abyei adalah pengiriman pasukan bersenjata oleh pemerintahan Sudan ke Abyei, sehingga melakukan okupasi wilayah tersebut, sebelum diputuskan apakah Abyei masuk dalam Sudan, ataupun Sudan Selatan. 170.000 penduduk Abyei mengungsi akibat okupasi yang mampu menggoyahkan perjanjian perdamaian Naivasha di tahun 2005.[2] Pihak militer Sudan melakukan okupasi dengan menggunakan teknologi militer konvensional, menurunkan insentif Sudan Selatan untuk melawan okupasi tersebut akibat fasilitas militer yang tidak memadai saat itu. 

Referendum sebenarnya merupakan jalan alternatif untuk menentukan apakah Abyei masuk dalam Selatan, ataupun Sudan. Referendum yang telah dijadwalkan bulan januari 2011 tersebut ternyata ditunda, dengan adanya masalah pada pembentukan komite pemilihan, serta adanya konflik antara warga yang akan diberikan hak untuk memilih dalam referendum.[3] Banyak konflik internal terjadi didalam Abyei pasca penundaan referendum yang dijadwalkan pada Januari 2011. 

Sebuah penyelesaian konflik perlu disepakati secepatnya. Konflik di Abyei pada tahun 2008, dimana terjadi penyerangan terhadap sebuah gereja katolik Fr Peter Suleiman, hampir menjadi momentum terpecahnya konflik perang sipil kedua yang telah disepakati perdamaiannya pada tahun 2005.[4] Penyelesaian konflik Abyei menjadikan salah satu potensi perdamaian secara pasti antara Sudan dan Sudan Selatan. Partisi negara, terutama yang memiliki permasalahan ditinjau dari segi historis, bisa saja menghasilkan situasi yang menegangkan sejak partisi/ pemisahan tersebut dilaksanakan. Ambil contoh kasus India dan Pakistan yang dipartisi oleh Inggris tahun 1947.[5] Sampai saat ini, terus menimbulkan situasi yang menegangkan antar kedua pihak. Menghilangkan semua kondisi, dan penyebab hubungan bilateral yang menghasilkan ketegangan merupakan hal yang perlu dikonsiderasikan sejak pembentukan Sudan Selatan pada 9 Juli 2011. 

Perebutan wilayah bukan satu-satunya faktor yang memungkinkan terjadinya konflik yang berkelanjutan antara Sudan dan Sudan Selatan. Kepemilikan minyak telah terbukti sebagai sebuah kepentingan nasional yang penting, yang juga mampu menghasilkan konflik dalam perebutan sumber daya tersebut. Secara garis besar, ¾ dari persediaan minyak di Sudan terletak di Sudan Selatan.[6] Sebelum Sudan Selatan merdeka, hasil pendapatan dari minyak tersebut dibagi secara merata. Walaupun ¾ persediaan minyak berlokasi di Sudan Selatan, pendapatan tersebut tetap harus dibagi (persyaratan Naivasha agreement 2005), sebab semua infrastruktur dan saluran pipa dibuat oleh pemerintahan pusat Khartoum saat itu. Secara keseluruhan, Sudan menghasilkan sekitar 490.000 barel minyak per hari, menunujukkan bagaimana Sudan merupakan salah satu produsen minyak terbesar di dunia.[7]

Beberapa aktor penting telah menunjukkan ketertarikannya pada minyak di Sudan. Salah satunya adalah negara Cina, yang telah melakukan investasi sebanyak 15 milyar USD, semua pada layanan jasa perminyakan di daerah Abyei. Cina telah menunjukkan keinginannya untuk memberikan bantuan finansial demi pembentukan infrastruktur, serta perluasan infrastruktur jalur pipa di daerah kaya akan minyak.[8] Otomatis kepentingan nasional yang bermain pada perumusan pembagian hasil dari minyak adalah dominasi dari bisnis tersebut. Beberapa fasilitas yang telah dijanjikan oleh Cina memberikan insentif yang besar untuk mendominasi sumber daya minyak yang ada di Sudan.

Besarnya keinginan Sudan Selatan untuk menguasai industri minyak secara 100% setelah kemerdekaannya tidak akan mampu terealisasi, sebab kilang minyak (pabrik yang memproses substansi natural) berada di Sudan Utara. Sehingga sumber daya alam minyak, walaupun berada dalam wilayah Sudan Selatan, tetap tidak akan berguna tanpa fasilitas yang dimiliki oleh Sudan. Sudan juga telah mengancam akan mematikan saluran pipa apabila terjadi pembagian penghasilan yang tidak adil mengenai persediaan minyak tersebut. 

Berbicara mengenai pembagian penghasilan dari minyak, sampai saat ini belum menemukan titik temu dalam pembagian penghasilan tersebut antara Sudan dan Sudan Selatan. Disetujui bahwa persetujuan masalah pembagian penghasilan akan dengan segera dibahas pasca kemerdekaan Sudan Selatan tanggal 9 Juli 2011.[9] Beberapa kemungkinan yang akan dinegosiasikan oleh Sudan Selatan dalam hal persediaan minyak adalah tetap membagi penghasilan, Sudan Selatan dikenakan pembiayaan atas penggunaan infrastruktur milik pemerintah Sudan, atau Sudan Selatan membangun infrastruktur jalur pipa dengan sendirinya. Kedua pihak akan mendapatkan keuntungan pada akhirnya, yang menjadi permasalahan adalah pihak mana yang akan mendapatkan mayoritas keuntungannya. 

Permasalahan terakhir yang kedua negara perlu selesaikan adalah masalah hutang negara Sudan. Akumulasi hutang negara Sudan adalah 36 milyar USD. Hutang tersebut terjadi sebelum terjadinya kemerdekaan Sudan Selatan. Yang perlu dipikirkan adalah mekanisme apa yang perlu diambil dalam penyelesaian hutang sebanyak jumlah tersebut, disaat negara Sudan telah pecah menjadi dua. Kemungkinan hutang yang dibagi dua, ataupun menganalisa keuntungan dari peminjaman uang tersebut lebih menguntungkan pihak siapa, merupakan beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam mencari mekanisme solusi hutang di Sudan. 

[1] Sudan: why Abyei is crucial to north and south. www.bbc.co.uk/news/world-africa-13502845. Diakses tanggal 14 Juni 2011. 
[2] Sudan’s Omar basher warns about disputed Abyei region. www.bbc.co.uk/news/world-africa-14101950. Diakses tanggal 17 Juni 2011. 
[3] Abyei conflict could derail Sudan’s north-south peace process, UN warns. www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=37754&Cr1. Diakses tanggal 17 Juni 2011. 
[4] Could Abyei dispute reignite Sudan war? www.bbc.co.uk/news/world-africa-12208399. Diakses tanggal 17 Juni 2011. 
[5] Partition of Sudan: Learning from India and Pakistan. http://pakteahouse.net/2011/07/10/partition-of-sudan-learning-from-india-and-pakistan/. Diakses tanggal 10 Juli 2011. 
[6] Is Sudan heading for an acrimonious divorce? www.bbc.co.uk/news/world-africa-13812579. Diakses tanggal 5 Juli 2011. 
[7] Background: Sudan’s oil industry. http://english.aljazeera.net/indepth/spotlight/southsudanindependence/2011/07/20117216441419555.html. Diakses tanggal 8 Juli 2011. 
[8] The oily subtext of South Sudanese independence. http://oilandglory.foreignpolicy.com/posts/2011/01/11/the_oily_subtext_of_south_sudanese_independence. Diakses tanggal 25 Juni 2011. 
[9] Oil’s impact on the possibility of renewed conflict over South Sudan independence. www.earthsrights.org/blog/oil-s-impact-possibility-renewed-conflict-over-south-sudan-independence. Diakses tanggal 7 Juli 2011.

Subscribe to receive free email updates: