Prosedur Observasi Secara Umum

Prosedur observasi secara umum diklasifikasikan - Flick (2002: 135) menjelaskan tentang observasi sebagai berikut: disamping kemampuan berbicara dan mendengarkan sebagaimana digunakan dalam wawancara-wawancara, observasi merupakan keterampilan harian lain sebagai secara metodelogis disistematisir dan diterapkan dalam penelitian kualitatif. Tidak hanya persepsi visual tetapi juga persepsi berdasarkan pendengaran, perasaan dan penciuman yang diintegrasikan. (“Besides the competencies of speaking and listening which are used in interviews, observing is another everyday skill which is methodologically systematized and applied in qualitative research. Not only visual perceptions but also those based on hearing, feeling and smelling are integrated (Adler and Adler 1998)”).

Dengan menyetujui pendapat Friedrichs (1973: 272-273), Flick (2002: 135) menyatakan prosedur observasi secara umum diklasifikasikan menjadi 5 (lima) dimensi, yaitu:

a) Observasi tertutup versus observasi terbuka: seberapa jauh observasi diberitahukan kepada siapa yang diobservasi. (“Covert versus overt observation: how far is the observation revealed to those who are observed”).

b) Observasi tidak terlibat versus observasi terlibat: seberapa jauh pengamat menjadi bagian yang aktif dari lapangan yang diamati. (“Non-participant versus participant observation: how far does the observer become an active part of the observed field”).

c) Observasi sistematis lawan observasi yang tidak sistematis: adalah suatu observasi yang lebih atau kurang terstandarisasikan dalam pola pelaksanaannya atau observasi yang lebih fleksibel dan tanggap terhadap proses penelitian sendiri. (“Systematic versus unsystematic observation: is a more or less standarized observation scheme applied or does observation remain rather flexible and responsive to the processes themselves”).

d) Observasi secara alamiah versus situasi-situasi buatan: apakah observasi dilakukan dalam lapangan yang diminati atau apakah observasi dilakukan terhadap interaksi yang mengarah ke suatu tempat yang khusus (misalnya suatu laboratorium) yang memungkinkan observasi yang lebih baik. (“Observation in natural versus artificial situations: are observation done in the field of interest or are interactions ’moved’ to a special place (eq. a laboratory) to give a better observability”).

e) Observasi diri versus mengobservasi orang-orang lain: kebanyakan orang lain diobservasi, maka berapa banyak niat/atensi peneliti melakukan refleksi dalam observasi diri sendiri untuk dijadikan dasar selanjutnya pada waktu melakukan penafsiran atas apa yang diobservasi. (“Self-observation versus observing others: mostly other people are observed, so how much attention is paid to the researcher’s reflexive self-observation for futher grounding the interpretation of the observed”).

Mengenai tahap-tahap observasi, penulis seperti Adler dan Adler (1998), Denzin (1989 b), dan Spradley (1980) (dalam Flick, 2002: 136) menyatakan bahwa observasi memiliki 7 (tujuh) tahap, yaitu:

a) Seleksi suatu latar (setting) yaitu dimana dan kapan proses-proses dan individu-individu yang menarik itu dapat diobservasi (“The selection of a setting, i.e. where and when the interesting processes and persons can be observed”).

b) Berikan definisi tentang apa yang dapat didokumentasikan dalam observasi itu dan dalam setiap kasus. (“The definition of what is to be documented in the observation and in every case”).

c) Latihan untuk pengamat supaya ada standarisasi misalnya apa yang dijadikan fokus-fokus penelitian. (“The training of the observers in order to standarized such focuses”).

d) Observasi deskriptif yang memberikan suatu pemaparan umum mengenai lapangan. (“Descriptive observations which provide an initial general presentation of the field”).

e) Observasi terfokus yang semakin terkonsentrasi pada aspek-aspek yang relevan dengan pertanyaan penelitian. (“Focused observations which concentrate more and more on aspects that are relevant to the research questions”).

f) Observasi selektif yang dimaksudkan untuk secara sengaja menangkap hanya aspek-aspek pokok. (“Selective observations which are intended to purposively grasp only central aspects”).

g) Akhir dari observasi apabila kepenuhan teori telah tercapai, yaitu apabila observasi lebih lanjut tidak memberikan pengetahuan lanjutan. (“The end of the observations, when theoretical saturation has been reached (Glaser and Strauss, 1967), i.e. futher observations do not provide any futher knowledge”).

Kerlinger (1986, terjemahan Simatupang 1990: 857) intinya menyatakan bahwa manusia melakukan pengamatan sehari-hari terhadap orang lain, lingkungan sekeliling dan lain-lain. Tetapi pengamatan seperti itu jelas tidak memberikan data yang dapat dipergunakan untuk penelitian ilmiah. Oleh peneliti-peneliti kuantitatif agar data hasil pengamatan dapat dimanfaatkan dalam penelitian ilmiah perlu diterapkan prosedur pengukuran yaitu setiap perilaku diberi skor menurut aturan tertentu, sehingga berdasarkan skor-skor tersebut dapat disusun kesimpulan. Namun menurut Kerlinger hal tersebut ternyata masih menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Para peneliti kuantitatif menyatakan bahwa perilaku tersebut harus dikontrol secara ketat dan cermat agar perilaku tersebut dapat dikenakan prosedur pengukuran, dengan demikian data tersebut bermanfaat untuk ilmu pengetahuan ilmiah. Peneliti-peneliti kualitatif menyatakan bahwa pengamatan harus alamiah (naturalistik): pengamat harus larut dalam situasi realistik dan alami yang sedang berlangsung, dan harus mengamati perilaku sebagai yang muncul dalam wujud yang sebenarnya. Walaupun hal ini dalam pelaksanaannya sangat sulit dan rumit.

Sedang Bachtiar (dalam Koentjoroningrat, 1977: 139) intinya menyatakan bahwa dalam pengetahuan ilmiah mengenai segala sesuatu yang diwujudkan oleh alam semesta, pengamatan merupakan teknik yang pertama-tama digunakan dalam penelitian ilmiah. Selanjutnya dinyatakan berbeda dengan pengamatan yang dilakukan sehari-hari, pengamatan sebagai cara penelitian menuntut dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang merupakan jaminan bahwa hasil pengamatan memang sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran penelitian. Syarat-syarat tersebut adalah peneliti harus berusaha membandingkan dengan hasil pengamatan orang lain dalam masalah yang sama dan dalam keadaan yang sama, apabila ternyata mendapatkan hasil yang tidak sama, maka harus diperiksa kembali dimana kesalahannya. Untuk menguji kebenaran suatu pengamatan, peneliti dapat mengulang pengamatannya kemudian membandingkan dengan hasil pengamatan pertama. Walaupun hal ini tidak selalu dapat dilakukan karena ada peristiwa yang hanya sekali terjadi, sehingga tidak dapat diamati lagi. Catatan penulis: untuk membandingkan hasil pengamatan dari seorang peneliti dengan peneliti lain adalah sangat sulit karena belum tentu mendapatkan peneliti dalam masalah yang sama dengan subjek yang sama. Oleh karena itu peneliti wajib membandingkan wajib penelitiannya dengan hasil pengamatan significant others yaitu individu yang dinilai berwibawa, dipercaya, disegani oleh subjek yang diteliti sehingga persepsinya terhadap subjek yang diteliti dianggap benar atau sesuai dengan kenyataannya.

Subscribe to receive free email updates: